Ketidakadilan Dalam Paham Liberalisme

Posted: June 6, 2018 in Pemikiran
Tags: , , , , , , , , , , , , , , , ,

Paham liberal memandang bahwa setiap orang bebas dan berhak menganut suatu keyakinan atau ideologi serta setiap orang, apapun kedudukannya, memiliki persamaan kedudukan di dalam hukum. Dalam paham liberal, setiap orang bebas untuk mengemukakan pendapat dan pikiran tanpa harus takut ditangkap, dihukum, atau dieksekusi oleh siapa saja.

Pada negara-negara yang menganut paham liberal, jangankan mengkritik orang, mengkritik agama dan Tuhan pun dibolehkan. Kritik dibalas kritik, argumentasi dibantah dengan argumentasi pula. Memang seharusnya seperti itu, perdebatan akan mengasah logika dan kemampuan berpikir. Berbeda jika kritik dibalas dengan “tinjuan tangan”, rakyat pun menjadi takut untuk berargumentasi.

JIka hukum bermain terlalu keras dalam menghakimi arus pemikiran dan argumentasi yang berseberangan dengan penguasa, maka fungsi hukum bukan lagi sebagai pengayom, namun lebih sebagai bendungan yang menahan arus pemikiran. Pemikiran pun terpenjara dan logika tidak berkembang. Otak hanya berpikir sesuai materi yang didoktrinkan. Cara seperti itu menumpulkan logika berpikir. Logika yang terkungkung hanya menyebabkan stagnansi ilmu pengetahuan. Bagaimana bisa negara akan maju ilmu pengetahuan dan teknologinya jika arus pemikiran dibelenggu sedemikian ketat karena tidak sejalan dan seide dengan penguasa.

Ada ketidakadilan penerapan paham liberal ini dalam konteks berekspresi. Ketika seseorang mengkritik suatu simbol agama, maka dianggap hal itu adalah kebebasan, bagian dari seni berpendapat dan berpikir. Namun saat seseorang sekedar menggunakan kosakata “pribumi”, justru hal itu diperselisihkan, bahkan dilaporkan ke pihak berwajib. Tampaknya kebebasan disini bermakna bahwa selama tidak menyinggung kepentingan penguasa dan pendukungnya, maka tidak apa-apa. Sebaliknya, jika menyinggung kepentinggan atau perasaan penguasa dan pendukungnya, maka harus ditindak tegas.

Standar ganda sering diterapkan di negara-negara penganut paham liberal. Wanita dengan pakaian minimalis dibiarkan berseliweran dijalanan. Sementara wanita muslim menggunakan niqab malah dicurigai sebagai pelaku radikalisme. Tak perlu harus melihat hingga ke negeri Barat, standar ganda pun terjadi di negeri ini. Wanita bercadar yang belajar di perguruan tinggi Islam dianggap berpaham radikal. Sedangkan wanita bercadar memelihara anjing justru dipuji-puji sebagai penyayang binatang. Dimana keadilan dan kebijaksanaan itu? Sama-sama bercadar, namun dihukumi secara berbeda.

Ternyata persamaan hak dan kebebasan yang digembor-gemborkan oleh penganut liberalisme hanyalah fatamorgana. Terjadi ketidakkonsistenan antara teori dengan praktiknya. Jika ada orang berteriak kata “brengsek”, “bajingan”, “bangsat” dibiarkan begitu saja, maka seharusnya biarkan juga orang yang mau memekikkan takbir, azan, atau kalimat zikir lainnya. Toh, nyatanya tidak demikian.

Liberalisme ternyata tidak melahirkan keadilan. Tetap saja ada sekelompok orang yang diberi keistimewaan dari yang lain. Misal saja para penganut paham liberalisme yang sangat mendukung pelaku disorientasi seksual. Namun disisi lain, mereka tidak hormat terhadap tata aturan masyarakat. Disatu sisi mereka nampak gigih memperjuangkan minoritas, namun disisi lain, mereka menghakimi dan merendahkan sendi-sendi norma sosial yang berlaku dalam mayoritas masyarakat. Yang terjadi saat ini, minoritas menginjak-injak mayoritas. Inikah keadilan?

Tetap saja akan ada strata sosial di dalam suatu negara berpaham liberal. Sengaja atau tidak sengaja, strata sosial itu akan tercipta. Orang kaya akan berkelompok dengan sesama orang kaya. Begitu pula orang miskin, mau tidak mau, hanya akan hidup berkelompok dengan sesama orang miskin. Silahkan mau membantah jika strata sosial dalam masyarakat liberal itu tidak ada. Namun sebagai contoh, keberadaan komplek perumahan elit merupakan gambaran adanya eksklusivisme dan privilege dalam bermasyarakat. Belum lagi eksklusivisme dan privilege bagi sekelompok orang dibidang lainnya, seperti pendidikan, politik, ekonomi, dan hukum. Strata sosial dalam masyarakat liberal itu memang dalam penerapannya tidak kaku. Mereka berada pada suatu strata sosial bukan karena warisan turun temurun. Memang ada usaha dan kerja keras disitu, bisa melalui perjuangan ekonomi, pendidikan, politik atau hukum.

Apakah seorang penganut paham liberal tidak mungkin terindikasi radikalisme di dalam dirinya? Banyak orang berpikiran bahwa radikalisme diidentikkan diktatorisme, ekstrimisme, atau konservatisme; sehingga seorang penganut paham kebebasan tidak mungkin melakukan kekerasan. Bagaimana dengan Amerika, otak dari paham liberal itu? Bukankah Amerika harus mengirim banyak tentara, senjata, dan uang untuk memperjuangkan paham liberal yang dianutnya? Amerika dan sekutunya harus mati-matian bertempur melawan NAZI dan Uni Soviet agar kedua negara itu tidak dapat menyebarkan pahamnya ke seluruh dunia.

Saat ini kita melihat paham liberal menguasai media, ekonomi, dan politik. Penganut liberal bisa mengkritik dengan keras siapa saja yang berseberangan dengannya. Mereka menghalalkan segala macam cara untuk membunuh karakter lawannya. Bahkan tak segan-segan berargumen dengan argumen bohong, kemudian ketika diserang balik dan terdesak, mereka akan berlindung dibalik paham kebebasan. Fenomena sosial yang tidak mereka senangi akan diputarbalikkan faktanya. Ada upaya penyesatan opini melalui pemberitaan untuk “cuci otak” publik, sehingga lawan akhirnya dihakimi secara sosial dan terkucilkan.

Kenyataannya, penganut paham liberal pun tidak sepenuhnya mampu berlapang dada melihat perbedaan pendapat dan pikiran pada orang lain. Para penganut paham liberal pun akan bertindak radikal jika kebebasannya dihambat atau dihalang-halangi. Tidak peduli kebebasannya itu bertentangan dengan norma sosial masyarakat, mereka akan gigih melakukan perlawanan. Ketika masyarakat melakukan perlawanan yang sengit, biasanya penganut paham liberal inipun akan mulai berakting seolah-olah mereka yang disakiti.  Pada negara yang menganut paham liberal dan negara itu kuat, maka mereka tak segan-segan untuk menggempur atau menjajah habis lawan-lawannya. Jadi, radikalisme itu bisa diidap oleh siapa saja. Sekarang yang dibutuhkan adalah kelapangan dada menerima kemajemukan yang ada dalam masyarakat. Meski sulit, namun sikap lapang dada, legowo, itu sangat baik untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat.

 

 

Leave a comment